Thursday 24 March 2011

Tokoh Anarkis: Pierre-Joseph Proudhon


Pierre-Joseph Proudhon
Pierre-Joseph Proudhon lahir pada tanggal 15 Januari 1809 dan meninggal pada tanggal 19 Januari 1865. Proudhon adalah seorang sosialis dan jurnalis yang berasal dari Prancis. Proudhon menyumbangkan banyak doktrin yang kemudian mendasari teori-teori radikal dan anarkisme. Proudhon juga dianggap sebagai orang pertama di dunia yang menyebut dirinya sendiri sebagai seorang anarkis.
Masa-masa Awal Kehidupan dan Pendidikan
Keluarga Proudhon adalah keluarga dari latar belakang ekonomi bawah. Dia dilahirkan di tengah kemiskinan. Ayahnya adalah seorang penjaga kedai sederhana dan pada usia 9 tahun, Proudhon bekerja sebagai seorang penggembala sapi di kaki pegunungan Jura.
Masa kecil Proudhon di pedesaan banyak mempengaruhi pemikiran-pemikirannya di masa depan. Visi dia mengenai masyarakat ideal adalah dunia di mana petani-petani dan para pengrajin sederhana seperti ayahnya bisa benar-benar hidup di dalam kebebasan, kedamaian dan kesederhanaan yang berdaulat. Bagi Proudhon, kemewahan bukanlah sebuah jawaban dan dia tidak pernah mendasarkan idealisme dia atas dasar kemewahan.
Sejak kecil, Proudhon telah menunjukkan bakat-bakat sebagai seorang intelektual yang brilian. Bakatnya ini kemudian membawa dia untuk memperoleh beasiswa di sebuah universitas di Besançon.
Untuk biaya hidup, dikarenakan kondisi finansial keluarganya, Proudhon bekerja menjadi staff di sebuah percetakan. Di masa-masa ini, Proudhon secara otodidak mempelajari bahasa Latin, Yunani dan Yahudi. Di tempat percetakan, Proudhon selain banyak berinteraksi dengan para kaum liberal dan sosialis Prancis juga banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mereka, di antaranya sosialis utopis Prancis saat itu, Charles Fourier.
Menjadi Seorang Anarkis
Proudhon kemudian mencoba mendirikan kantor pers dia sendiri, tetapi masalah manajemen yang buruk akhirnya membuat usaha dia layu sebelum berkembang. Usaha Proudhon mungkin juga hancur akibat dirinya yang terlalu fokus dalam menghasilkan tulisan-tulisan, bukan berbisnis. Tulisan-tulisan Proudhon dalam bahasa Prancis dianggap oleh banyak khalayak terlalu sulit untuk diterjemahkan, tapi substansinya banyak dikagumi oleh para penulis-penulis Prancis seperti Flaubert, Sainte-Beuve dan Baudelaire.
Pada tahun 1838, Proudhon kembali memperoleh beasiswa dari Akademi Besançon untuk menempuh studi di Paris. Di masa-masa inilah Proudhon menghasilkan karya tulisnya yang paling signifikan yang berjudul Qu'est-ce que la propriété? (What Is Property?). Di dalam buku ini Proudhon menjadi sensasi karena dia mengumumkan bahwa dia adalah seorang “anarkis” dan bahwa “kepemilikan adalah perampokan”. Proudhon mendefiniskan anarki sebagai:
“Ketiadaan seorang penguasa, ketiadaan kedaulatan,”
Slogan “kepemilikan adalah perampokan” berhasil menarik perhatian banyak orang. Slogan ini juga menjadi salah satu bukti kemampuan Proudhon untuk menarik perhatian banyak orang dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menohok dan memiliki arti yang mendalam. Lewat slogan itu, Proudhon tidak mengkritisi “kepemilikan” dalam arti umum, tetapi dalam arti “kepemilikan” di mana seseorang mengeksploitasi hasil jerih payah dan tenaga kerja orang lain.
Arti “kepemilikan” di dalam konteks lain – di mana seorang petani memiliki hak atas tanah yang dia olah ataupun seorang pengrajin memiliki hak sepenuhnya atas peralatan kerajinannya – dinilai penting oleh Proudhon dalam rangka memelihara kemandirian dan sebagai prinsip dasar kritikan dia atas paham komunisme, baik dalam konteks utopian ataupun varian Marxist-nya, yang menurut dia justru menghancurkan esensi dari kebebasan dengan mengambil alih hak individu untuk mengontrol instrumen-instrumen yang dia gunakan untuk berproduksi.
Perang Melawan Negara
Pada bulan Juli di tahun 1840, Proudhon hampir saja dihukum oleh negara atas pernyataan-pernyataan kontroversial dia di dalam buku What Is Property?. Di tengah-tengah proses pengadilan atas dirinya, di tahun 1842, Proudhon kembali menerbitkan buku sekuel dengan judul yang lebih provokatif yaitu Avertissement aux propriétaires (Warning to Proprietors).
Proudhon berhasil lolos dari semua dakwaan karena para juri merasa bahwa mereka tidak mampu mengerti dengan jelas apa yang menjadi argumen Proudhon di dalam buku-bukunya dan oleh karena itu, mereka tidak mempunyai dasar kuat untuk menjatuhkan hukuman atas dia.
Pada tahun 1843, Proudhon bekerja sebagai seorang staff manager di sebuah perusahaan distribusi air di Lyon. Di sini, Proudhon berinteraksi dengan sebuah komunitas rahasia, yang disebut sebagai kaum mutualis.
Kaum ini telah mengembangkan sebuah doktrin proto-anarkis yang mempunyai paham bahwa pabrik-pabrik di masa senja revolusi industri seharusnya bisa dioperasikan oleh serikat-serikat pekerja dan para pekerja tersebut mempunyai potensi lebih besar untuk mengubah masyarakat lewat kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi daripada berjuang lewat sebuah revolusi ataupun pemberontakan. Proudhon kemudian mengadopsi pemikiran ini dan menamakan anarkisme yang dia yakini sebagai mutualisme.
Selain berinteraksi dengan para intelektual kaum pekerja di Lyon, Proudhon juga bertemu dengans seorang feminis sosialis bernama Flora Tristan. Dalam sebuah kunjungan ke Paris, Proudhon juga bertemu dengan Karl Marx, Mikhail Bakunin, dan penulis sosialis Rusia Aleksandr Herzen.
Pada tahun 1846, Proudhon mengalami perbedaan pendapat dengan Marx atas isu pengorganisasian gerakan sosialis. Proudhon merasa keberatan dengan konsep Marx yang terlalu otoriter dan terpusat.
Proudhon kemudian menerbitkan Système des contradictions économiques, ou Philosophie de la misère (System of Economic Contradictions or The Philosohy of Poverty). Tidak lama setelah penerbitan itu, Marx mengkritik Proudhon dengan pedas lewat sebuah artikel tebal yang berjudul La misère de la philosophie (The Poverty of Philosophy).
Perdebatan ini menjadi awal pertempuran konsep antara kaum libertarian dengan sosialis otoriter, dan antara kaum anarkis dan kaum Marxist, yang di mana pada akhirnya memecah gerakan International sosialisme pertama antara kubu Marx dan para pengikut Proudhon, yang di antaranya adalah Bakunin.
Di awal 1848, Proudhon akhirnya benar-benar meninggalkan Lyon dan menuju Paris, di mana dia mendirikan sebuah koran bernama Le Représentant du peuple.
Sepanjang tahun 1848 yang penuh pergolakan dan di bulan-bulan pertama pada tahun 1849, Proudhon menerbitkan empat koran yang bertemakan anarkisme dan diterbitkan secara berkala. Semua terbitan dia dihancurkan oleh pemerintah lewat sensor.
Pada bulan Juni 1848, Proudhon juga terpilih sebagai salah satu perwakilan di Majelis Konstituen Republik Kedua Prancis. Proudhon tetap mempertahankan sikap kritisnya kepada otoriterianisme yang terus menerus menjadi tendensi di dalam masyarakat yang pada akhirnya menghadirkan pemerintahan diktator di bawah Napoleon III.
Proudhon juga sempat mencoba mendirikan sebuah bank rakyat yang berdasarkan sistem kredit mutual, di mana para pekerja memperoleh gaji berdasarkan jumlah jam kerja yang dipakai untuk menghasilkan sebuah produk jadi.
Proudhon kemudian dipenjara pada tahun 1849 setelah mengkritisi habis-habisan Louis-Napoleon, yang mendeklarasikan dirinya sebagai presiden Republik dengan gelar Kaisar Napoleon III. Proudhon baru dibebaskan pada tahun 1852.
Proudhon diperlakukan dengan baik selama di penjara. Dia bisa menerima kunjungan dari para koleganya dan dia juga bisa bepergian keluar secara berkala di sekitar kota Paris.
Proudhon menikah ketika dia dipenjara. Dia juga menjadi editor koran terakhirnya dari dalam penjara dan menulis dua buku, yaitu Confessions d'un révolutionnaire dan Idée générale de la révolution au XIXe siècle.
Karya yang terakhir adalah sebuah potret masyarakat federal, di mana perbatasan-perbatasan antar negara dihilangkan, negara-negara juga dihilangkan, otoritas didesentralisasi kepada komuni-komuni atau asosiasi-asosiasi lokal, dan kontrak-kontrak antar pribadi sebagai pengganti hukum. Karya ini dianggap mewakili visi Proudhon tentang sebuah masyarakat ideal.
Setelah bebas pada tahun 1852, Proudhon tetap mengalami masalah dengan polisi-polisi kerajaan. Proudhon mengalami kesulitan untuk menerbitkan tulisan-tulisannya dan terpaksa memakai identitas palsu untuk berkarya.
Pada tahun 1858, Proudhon berhasil membujuk seorang penerbit untuk menerbitkan karyanya De la justice dans la Révolution et dans l'église yang terdiri dari tiga volume. Dalam karya ini, Proudhon mempertentangkan antara teori keadilan yang humanis dengan asumsi-asumsi gereja yang transendental. Karyanya ini kemudian dibredel juga.
Proudhon kemudian kabur ke Belgia. Dia tetap tinggal di sana sampai tahun 1862 dan terus mengembangkan kritikannya terhadap nasionalisme dan mengkampanyekan pemikiran-pemikirannya tentang sebuah federasi dunia. Pemikirannya ini dituangkan dalam karya yang berjudul Du Principe fédératif.
Tahun-tahun Terakhir
Sekembalinya ke Paris, pengaruh Proudhon terus bertumbuh terutama di kalangan kaum pekerja Paris yang telah sejak lama mengadopsi pemikirannya tentang Mutualisme. Kaum pekerja ini juga yang menjadi bagian pendiri awal gerakan First International di tahun 1865.
Karya terakhir Proudhon diselesaikan dari atas tempat tidur tempat dia meninggal dunia. Karyanya ini berjudul De la capacité politique des classes ouvrières dan berisi mengenai teori pembebasan kaum pekerja yang harus dilakukan oleh mereka sendiri lewat tindakan-tindakan nyata di bidang ekonomi.
Warisan
Proudhon memberikan warisan abadi bagi para anarkis. Pemikiran-pemikiran dia masih relevan sampai sekarang, terutama definisi dia tentang pemerintah dalam essaynya yang terkenal What Is Government?. Dalam essaynya itu, Proudhon berkata;
“Untuk berada di bawah sebuah pemerintahan adalah menerima nasib untuk diawasi, diinspeksi, dimata-matai, diarahkan, dikekang oleh hukum, dianggap sebagai sebuah statistik, diatur, diwajib-militerkan, didoktrinisasi, dikotbahi, dikontrol, dicek, diberikan perkiraan-perkiraan, diberi nilai, disensus, diperintah, oleh segelintir mahluk yang sama sekali tidak berhak maupun mempunyai akhlak kebijaksanaan yang lebih tinggi. Untuk berada di bawah sebuah pemerintahan adalah menerima nasib untuk dipaksa terlibat dalam setiap operasi, setiap transaksi, untuk diregister, untuk dihitung, untuk dipungut pajak, untuk diberikan stempel, untuk diukur, untuk diidentifikasi lewat nomor, untuk diases, untuk diberikan lisensi, untuk diotorisasi, untuk ditegur, untuk dicegah, untuk dilarang, untuk direformasi, untuk dihakimi, untuk dihukum. Untuk berada di bawah pemerintahan adalah, atas nama utilitas publik dan kepentingan umum, menerima nasib untuk ditempatkan di bawah kontribusi, diperbudak, ditipu, dieksploitasi, dimonopoli, diperas, ditekan, dibohongi, dirampok, dan jika ada perlawanan sesedikit apapun, maka hal yang akan diterima adalah diberikan represi, didenda, difitnah, dilecehkan, diburu, disiksa, dipukuli, dilucuti, diusir, dicekik, dipenjarakan, dijatuhi hukuman, dikutuk, ditembak, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati; dan di atas segalanya; dimaki, diejek, dicemooh, dimarahi, dicabut kehormatannya. Itulah pemerintahan; itulah keadilannya; itulah moralitasnya,”

No comments:

Post a Comment