Saturday 26 March 2011

Tokoh Anarkis: Emma Goldman



Emma Goldman

Emma Goldman adalah nama seorang perempuan yang sangat menggetarkan di awal abad 20. Terlahir dengan sikap pemberontak sejak kecil, Emma kemudian tumbuh menjadi salah satu tokoh anarkis paling berpengaruh sepanjang masa. Begitu berpengaruhnya Emma terhadap paham anarkisme, sampai dia pun dijuluki sebagai “Wanita Paling Berbahaya”. Terlepas dari julukan itu, yang diberikan oleh para pihak otoritas kaum kapitalis, Emma juga dikenal sebagai pejuang yang gigih untuk kebebasan, kesetaraan dan cinta. Berikut, kisah Emma Goldman yang luar biasa....
Masa Kecil

Emma dilahirkan pada 27 Juni 1869 di sebuah perkampungan Yahudi di Kovno, Rusia. Keluarga Emma memiliki sebuah losmen sederhana di kota itu. Ketika Emma berusia 13 tahun, dia dan keluarganya pindah ke St. Petersburg. Rusia sedang mengalami pergolakan politik pada saat itu dengan terbunuhnya Tsar Alexander II.
Di tengah-tengah pergolakan politik, komunitas Yahudi di Rusia mengalami diskriminasi. Ditambah pula dengan keadaan ekonomi yang morat-marit, maka Emma terpaksa berhenti bersekolah dan bekerja di sebuah pabrik di St. Petersburg.
Masa-masa di St. Petersburg adalah masa-masa di mana Emma pertama kali berkenalan dengan idealisme kebebasan dan kesetaraan. Di sela-sela kerjanya, Emma menyempatkan membaca karya-karya yang bercerita tentang kesetaraan, di antaranya karya Cherychevsky yang berjudul What Is To Be Done yang bercerita tentang sebuah dunia yang di dalamnya terjalin kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan di mana kerja sama menjadi dasar kehidupan dunia tersebut. Nilai-nilai yang terkandung di dalam buku ini nantinya akan banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran anarkis Emma.
Untuk mengurangi beban keluarga, ayah Emma memaksanya untuk menikah pada umur 15. Karena Emma sudah dikenal sebagai seorang pemberontak sejak kecil, tentu saja dia menolak, bahkan dia sampai mengancam akan bunuh diri jika ayahnya terus-menerus memaksa untuk menikah dengan pria yang tidak dia cintai. Ayahnya yang tidak tahan dengan tingkah Emma yang pemberontak akhirnya mengusir si gadis pemberontak dengan mengirimkannya ke Amerika untuk tinggal dengan sanak famili yang tinggal di Rochester.
Menjadi Anarkis Di Amerika

Ketika menginjakkan kakinya pertama kali di Amerika, Emma cuma membawa uang sebesar 5 dollar Amerika, beberapa potong baju dan sebuah mesin jahit portabel. Emma langsung mencari komunitas-komunitas sosialis di Amerika dan segera menemukan kecocokan dengan mereka.
Emma baru merasakan ketertarikan yang kuat ke paham anarkisme setelah peristiwa tragedi Haymarket di Chicago pada tahun 1886. Tragedi itu adalah peristiwa di mana ada pelemparan bom misterius yang membunuh beberapa polisi ketika sedang berlangsung demonstrasi kaum pekerja di plaza Haymarket. Walaupun identitas pelempar bom tidak jelas, negara menjatuhkan hukuman gantung kepada empat anarkis yang dianggap menjadi otak intelektual pemboman. Beberapa tahun setelah empat anarkis tersebut meninggal di tiang gantungan, pengadilan menemukan bukti lanjutan bahwa mereka sama sekali tidak terlibat dalam pemboman dan bahwa mereka sebenarnya dihukum bukan karena tragedi tersebut, tetapi karena paham anarkisme yang mereka anut.
Pada hari empat anarkis Haymarket digantung dan dibunuh oleh negara, Emma memutuskan bahwa dirinya akan terus berjuang demi kebebasan dan keadilan lewat jalur revolusi. Saat itu, Emma baru berusia 20 dan baru saja bercerai dari suami pertamanya, seorang imigran Rusia. Emma kemudian pindah ke New York, kota yang dia anggap menjanjikan hidup dan jaringan relasi yang lebih baik.
Di New York, Emma berkenalan dan bersahabat dengan seorang anarkis berdarah Jerman bernama Johann Most. Most merasa terkesan dengan semangat Emma dan mengangkat dia sebagai muridnya. Most banyak menugaskan Emma untuk berpidato kepada para kaum pekerja di New York. Salah satu tugas yang sering diberikan Most kepada Emma adalah untuk berpidato mengenai penggulingan kapitalisme secara total, daripada melakukan aksi-aksi meminta gaji dan jam kerja yang lebih baik kepada para kaum kapitalis.
Emma melaksanakan perintah mentornya dengan patuh, sampai suatu saat seorang pekerja tua mendebat Emma yang sedang berpidato. Pekerja itu bertanya; jika kapitalis digulingkan secara total dengan tiba-tiba, ke mana lagi mereka harus mencari makan? Dari sini Emma melihat bahwa perjuangan untuk mendapatkan gaji dan jam kerja yang lebih baik justru menjadi bagian yang penting dalam sebuah revolusi untuk mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih adil.
Setelah peristiwa itu, Emma mulai menjaga jarak dengan Most dan mulai lebih tertarik untuk mendalami pikiran-pikiran Peter Kropotkin. Emma tertarik mempelajari tulisan-tulisan Kropotkin karena dia sedang berusaha mencari keseimbangan antara pemikiran anarkis dia yang sangat mengagunggkan kebebasan individu dengan paham Kropotkin yang menekankan pentingnya kerjasama antara individu satu dengan yang lainnya untuk mewujudkan revolusi sosial.
Pada masa mudanya, Emma juga mendukung paham bahwa segala hal adalah halal untuk mencapai sebuah tujuan, termasuk kekerasan. Pada tahun 1892, Emma bersama kekasihnya Alexander Berkman merencanakan sebuah plot pembunuhan atas Henry Clay Finch, seorang kapitalis yang terus menerus menekan kaum pekerja di pabriknya dengan menggunakan penjaga-penjaga bersenjata. Emma dan Berkman percaya bahwa dengan membunuh seorang tiran, yang mewakili sebuah sistem yang kejam, kesadaran orang banyak untuk melakukan revolusi akan bangkit.
Rencana Emma dan Berkman gagal. Berkman, sebagai eksekutor, hanya berhasil melukai Finch setelah gagal menembaknya dari jarak dekat. Goldman membela Berkman habis-habisan dengan mengatakan bahwa pembunuhan atas Finch bisa dijustifikas atas dasar moral dan kepentingan orang banyak. Akan tetapi, masa-masa hidup Emma di Rusia beberapa tahun kemudian akan mengubah prinsip pro-kekerasan yang dianutnya. Hal ini akan dibahas nanti.
Ambil Roti
Pihak berwajib Amerika sekarang benar-benar mengawasi segala gerak-gerik Emma karena pembelaannya yang terus terang atas upaya pembunuhan yang dilakukan Berkman. Setiap kali Emma mengadakan pidato atau diskusi publik, selalu ada polisi yang menghalangi atau membubarkan. Pada tahun 1893, pihak berwajib menangkap Emma karena dianggap memprovokasi masyarakat dengan pidatonya yang kontroversial yang dikenal dengan nama “ambillah roti”. Dalam pidato itu, Emma berkata:
“Pergilah ke jalan-jalan, temui orang-orang kaya, ketuk pintu-pintu rumah mereka dan mintalah pekerjaan. Jika mereka berkata kepadamu ‘aku tidak punya pekerjaan untukmu’, maka mintalah roti pada mereka. Jika mereka tidak memberikanmu pekerjaan ataupun roti, maka ambillah roti langsung dari mereka,”
Pihak berwajib tidak mau mengambil resiko terjadinya kerusuhan di mana ratusan kaum pekerja mengambil roti dari orang-orang kaya dan langsung menangkap Emma dan mengirimnya ke penjara. Banyak orang salah sangka bahwa dengan pidatonya Emma mengajarkan orang untuk menjadi pencuri. Tapi orang suka lupa melihat pidato Emma dalam konteks yang terjadi saat itu. Saat itu Emma berbicara tentang keadilan, bukan tentang mencuri atas dasar dengki atau iri hati kepada kaum kaya. Pada saat itu, kaum kaya menikmati hidup yang mewah dari memeras keringat kaum pekerja yang digaji rendah dan tidak memiliki jaminan sosial sama sekali. Emma meminta kaum pekerja untuk mengambil roti, yang menjadi hak mereka juga, karena merekalah yang menghasilkan produk-produk yang hasil finansialnya hanya dinikmati segelintir orang kaya. Kaum kaya lah yang sebenarnya menjadi pencuri hak kaum pekerja pada saat itu, bukan sebaliknya, dan sampai saat inipun pidato Emma masih relevan selama ketidakadilan masih terjadi antara si pemilik modal dengan si pekerja.
Setelah lepas dari penjara, Emma menikmati udara kebebasan hanya sebentar saja sebelum dijebloskan kembali di balik jeruji besi. Kali ini Emma dipenjara karena mengedarkan tulisan-tulisan mengenai perlunya hak perempuan dijamin, sama dengan pria, untuk mendapatkan akses ke peralatan kontrasepsi. Bagi Emma, perempuan mempunyai kebebasan sepenuhnya atas tubuhnya, termasuk menentukan apakah dia ingin hamil atau tidak. Emma berkata:
“Seorang perempuan tidak harus selalu menutup mulutnya dan membiarkan rahimnya terbuka,”
Diusir Ke Rusia

Pada tahun 1917, Emma dan Berkman dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun, kali ini karena kampanye mereka menentang pengiriman pemuda-pemuda untuk terlibat di dalam perang dunia pertama. Setelah itu, pemerintah Amerika mencabut kewarganegaraan Emma dan Berkman. Mereka dan banyak kaum sosialis Amerika lainnya lalu diusir dan dikirim ke Rusia. Pada saat mendeportasi Emma itulah, kepala FBI pada saatb itu, J. Edgar Hoover, memberikan julukan kepadanya sebagai “wanita paling berbahaya di Amerika”.
Emma memandang deportasi sebagai kesempatan emas bagi dia untuk turut berpartisipasi dalam sebuah revolusi yang sedang terjadi di kampung halamannya. Emma melihat bahwa dia punya kesempatan untuk berperan banyak bagi kaum Bolshevik di Rusia. Akan tetapi, Emma, yang semula berharap banyak pada kaum Bolshevik, justru merasa kecewa. Dia melihat revolusi Bolshevik justru tidak membebaskan kaum pekerja akan tetapi justru lebih memperburuk nasib mereka dengan birokrasi yang semakin korup, represi politik yang kejam dan kerja paksa yang berlebihan.
Emma benar-benar patah arang dengan kaum sosialis Bolshevik setelah tentara merah Trotsky membantai kaum pekerja yang melakukan mogok di tahun 1921.
Setelah melihat dengan mata kepala sendiri keadaan di Rusia, Emma mengubah pandangan lamanya bahwa segala cara, termasuk kekerasan, adalah halal untuk mencapai tujuan dari sebuah revolusi. Emma menulis:
“Aku menyadari bahwa masa lalu menunjukkan perubahan politik dan sosial yang besar membutuhkan proses yang penuh dengan kekerasan. Tetapi harus dicatat pula, bahwa ada perbedaan prinsipil antara menggunakan kekerasan dalam rangka membela diri dengan menggunakan kekerasan dalam rangka tindakan teror lewat institutionalisasi kekerasan yang akan ditempatkan di proses-proses paling vital dalam sebuah perjuangan sosial. Kekerasan semacam itu hanya akan melahirkan sebuah kontra-revolusi dan melanggar prinsip-prinsip awal sebuah revolusi,”
Pandangan Emma tersebut membuat dia agak kurang disukai di kalangan radikal, yang menganggap bahwa revolusi Bolshevik adalah sebuah revolusi yang sukses. Ketika Emma pindah ke Inggris pada tahun 1921, dia dijauhi oleh para sosialis. Kuliah-kuliah umumnya yang mengecam kaum Bolshevik dihadiri hanya oleh segelinter orang. Pada tahun 1925, Emma menikah dengan seorang penambang dari Wales. Lewat pernikahan ini, Emma memperoleh paspor Inggris dan dengan paspornya, Emma bisa dengan mudah bepergian ke Prancis dan Kanada. Pada tahun 1934, Emma akhirnya diperbolehkan untuk bepergian ke Amerika dan memberikan kuliah-kuliah umum.
Tahun-Tahun Terakhir

Pada tahun 1936, kekasih Emma, Berkman bunuh diri, hanya beberapa bulan sebelum perang saudara Spanyol meletus. Di usia senjanya, Emma tetap mempunyai semangat untuk menjadi bagian dari sebuah revolusi. Dia pergi ke Spanyol dan berjuang bersama kaum anarkis di sana.
Emma meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1940 dan dikuburkan di Chicago, di dekat pemakaman para martir tragedi Haymarket yang telah mempengaruhi pemikiran dia untuk menjadi seorang anarkis.
Warisan

Banyak warisan dari Emma yang signifikan dan penting bagi pemikiran-pemikiran anarkis. Emma sangat diingat sebagai orang yang sangat menekankan kesetaraan gender di dalam anarkisme. Emma dipenjara demi memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh akses yang sama ke alat-alat kontrasepsi. Emma juga menyatakan bahwa kesetaraan gender tidak mungkin dicapai dengen penyelesaian-penyelesaian politis saja dan diperlukan sebuah transformasi nilai yang besar di dalam masyarakat dan harus dimulai oleh kaum perempuan sendiri.
Emma berpendapat bahwa untuk mencapai kesetaraan gender, perempuan harus: pertama, melihat dirinya sendiri sebagai seseorang yang mempunyai hak pribadi, bukan hanya sebagai objek seks. Kedua, perempuan harus menolak sepenuhnya keinginan siapapun untuk memiliki hak atas tubuhnya; dengan menolak sikap pelayanan atas nama Tuhan, pelayanan kepada negara, masyarakat, suami, keluarga dan lain-lain. Bagi Emma, hanya anarkisme yang akan membebaskan perempuan dari belenggu tirani dunia.

No comments:

Post a Comment